Kelompok V
- Andi Haerani
- Rahmatullah
- Muharti Syamsul
- Imran
- Ratih Puspitasari
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kawasan pesisir juga dipahami sebagai Kawasan tempat bertemunya berbagai kepentingan, baik Masyarakat, Pemerintah Kabupaten, dan Investor dalam rangka memanfaatkan potensi kawasan pesisir. Kawasan Pesisir adalah kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sangat potensial sebagai modal dasar pembangaunan nasional
Secara historis, kota- kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove.
Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun di masa reformasi, dengan kelahiran UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Era global peradaban di tahun milenium ketiga, ditengarai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi dan transportasi, perdagangan bebas, mobilitas penduduk antar negara – antar wilayah yang sedemikian cepat membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat global yang harus dikelola dengan baik.
Dampak negatif di bidang kesehatan pada tingkatan kemajuan teknologi transportasi, perdagangan bebas maupun mobilitas penduduk antar negara, antar wilayah tersebut adalah percepatan perpindahan dan penyebaran pentakit menular potensial wabah yang dibawa oleh alat angkut, orang maupun barang bawaannya.
Dalam rangka melindungi negara dari penularan/penyebaran penyakit oleh serangga (vektor) maupun kuman /bakteri yang terbawa oleh alat angkut, dan barang bawaan yang masuk melalui pintu-pintu masuk negara tersebut, berdasarkan International Health Regulation (IHR) Tahun 2005 yang berlaku, “semua alat angkut harus bebas dari vektor”.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa dan bagaimana peran Vektor?
2. Apa permasalahan masyarakat di wilayah pesisir?
3. Bagaimana pengendalian vektor di wilayah pantai dan pesisir?
4. Contoh kasus pengendalian vektor di wilayah pantai!
C. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dalam pembahasan ini adalah
1. Untuk mengetahui peran vektor.
2. Untuk mengetahui permasalahan di wilayah pesisir.
3. Agar mengetahui cara pengendalian vektor di wilayah pantai dan pesisir.
4. Mengetahui dan menerapkan contoh kasus pengendalian vektor di wilayah pantai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Vektor
Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar.
Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekananis selalu mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif.
Vektor biologis, dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum. Larva (miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang akan keluar dari tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi dermatitis (SOULSBY, 1982).
Vektor mekanis, dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus sering menggigit hospesnya agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria.
Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit dekat mulut. Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah Triatoma bugs. Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara hewan rodensia. Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan manusia.
B. Permasalahan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan
Pengembangan
b. Kerusakan Fisik Habitat
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau
c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. upportEmptyParas]-->
e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.
Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.
f. Bencana Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.
C. Pengendalian Vektor Di Wilayah Pantai Dan Pesisir
1. Migrasi burung
Masyarakat diharapkan mewaspadai, dan berhati-hati terhadap burung yang berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Sebab, kemungkinan burung membawa virus flu burung. Mengingat, burung-burung tersebut biasanya tersebar di pantai laut Pulau Jawa dan daerah lain yang banyak persediaan makanan burung.
Masyarakat harus melakukan gerakan lingkungan bersih dan sehat dalam menjaga kesehatannya. Dengan cara mengadakan semprotan pembasmi bakteri vaktogen dan obat insektisida untuk membunuh lalat dan larvanya dilaksanakan rutin seminggu sekali. Penyemprotan dikhususkan pada rumah penduduk di tepi pantai, pasar ayam, tempat pemotongan, dan kios ayam.
penyemprotan disinfektan ini dilakukan sebagai upaya awal untuk mencegah dan menghambat berkembangnya virus flu burung.
2. Pencegahan Vektor Masuk Di Daerah Pantai Atau Pesisir Melalui Kapal
Pencegahan vektor masuk di daerah pesisir atau pantai dengan dilaksanakannya program disinseksi yaitu untuk menghindari kapal dari serangga/vektor penyebab/penular penyakit (tikus, kecoak, nyamuk Aedes Aegypti/Anopheles) yang terbawa oleh alat angkut penumpang/barang di Pelabuhan.
Prosedur Tindakan Disinseksi Berdasarkan Peraturan Dirjen PP & PL
1. Penggunaan alat pelindung diri sebelum melakukan tindakan disinseksi misalnya, sarung tangan, masker, sepatu boat, dll
2. Penggunaan peralatan untuk disinseksi, misalnya, hand sprayer, mist blower, dan electric sprayer.
3. Pelaksanaan disinseksi dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk bagian-bagian kapal yang tersembunyi seperti lubang-lubang kecil di lantai dan tempat-tempat sulit menggunakan hand sprayer ataupun mist blower.
b. Untuk ruang lebar terbulca menggunakan ULV electric sprayer.
c. Mengisi formulir isian yang memuat data tentang nama bahan pestisida/insektisida yang digunakan volume berat bahan pestisida yang digunakan, bahan pelami, catatan (waktu, hari dan tanggal pelaksanaan), nama petugas pelaksana dan supervisor yang bertanggungjawab.
d. Membuat laporan pelaksanaan secara tertulis.
4. Pengawasan disinseksi oleh petugas KKP
a. Melakukan pengawasan atas seluruh kegiatan disinseksi yang dilakukan oleh BUS (Badan Usaha Swasta)
b. Memberikan masukan, saran, maupun teguran kepada BUS agar pelaksanaan kegiatan disinseksi sesuai standar.
c. Membuat laporan tertulis
Hambatan & Upaya Pelaksanaan Tindakan Disinseksi. Adapun kapal yang di disinseksi yaitu kapal barang atau kargo, dan untuk kapal penumpang hanya diberikan peringatan secara lisan karena berbagai kendala, salah satunya yaitu, kapal penumpang hanya transit pada suatu daerah dalam waktu beberapa jam, dan keadaan kapal sangat sulit dikosongkan dari manusia. Sedangkan untuk pelaksanaan disinseksi diperlukan waktu yang cukup lama (sesuai ukuran kapal) dan dan kapal harus kosong dari manusia dan barang yang mudah terkontaminasi oleh racun yang ditimbulkan oleh pestisida /insektisida yang digunakan untuk disinseksi.
2. Memutus daur hidup
Setiap vektor mempunyai siklus hidup yang berbeda-beda, mulai dari telur, larva atau nimfe dan dewasa. Semuanya ini mempunyai karakteristik sendiri yang spesifik dan sangat dipengaruhi keadaan lingkungan. Oleh karena itu pengetahuan tentang epidemiologi dari vektor tersebut sangat penting dan diperlukan untuk membuat program penanggulangannya. Keakuratan data dari sistim di alam yang menyangkut sistim vektor borne disease dan agen penyakit-vektor-hospes akan mempengaruhi model program penanggulangan yang akan diajukan.
3. Penggunaan insektisida
Insektisida digunakan untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida yang sering digunakan mulai dari organochlorine, organofosfat, carbamate, pyrethrin dan jenisjenis yang lain baik derivatnya maupun campurannya akan berfungsi untuk membunuh serangga. Metoda pemberian insektisida adalah dengan sistim pengasapan (fogging), tetapi perlu diperhatikan juga berapa lama insektisida tersebut masih aktif, karena fogging kebanyakkan di perumahan. Residual insektida mungkin lebih baik digunakan karena mempunyai efek jangka panjang. Selain fogging, perlu juga digunakan repellent untuk mencegah vektor tidak menggigit manusia. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk, orang sering menggunakan kelambu yang sudah ada insektisida (impregnated net).
D. Contoh kasus pengendalian vektor malaria di wilayah pantai
Kabupaten Simeulue yang pada umum masyarakatnya bermukim disepanjang pantai, daerah perkebunan dan persawahan, sejak terjadinya bencana alam. Gempa dan Tsunami 26 Desember 2004 serta gempa 28 Maret 2005 telah merobah tatanan kehidupan, perilaku serta keadaan pemukiman masyarakat sehingga keadaan masyarakat ditinjau dari segi kesehatan sangat memprihatinkan, masyarakat berpindah ke tempat yang baru dengan hidup apa adanya apalagi pulau Simeulue merupakan daerah Endemis Malaria,
Kabupaten Simeulue telah melakukan berbagai upaya – upaya seperti :
1. Sosialisasi dan advokasi pada Pemerintah Daerah/sektor terkait
2. Peningkatan mutu dan kualitas petugas malaria tingkat Kabupaten dan Kecamatan
3. Menjalin kerjasama dengan Depkes RI, Dinkes Provinsi NAD dan sektor terkait.
4. Menjalin kemitraan dengan Badan Donor/NGO
5. Menyusun buku Muatan Lokal Malaria untuk SD,SMP,SMA
6. Membuat Qanun Malaria
Pada tahun 2007 Dinas Kesehatan telah melaksanakan beberapa kegiatan melalui dana APBD TK II dan bantuan dari GF ATM, Mentor dan Unicef antara lain :
Þ Pencarian Kasus
Pencarian dan Pengobatan penderita Penyakit Malaria di 8 Kecamatan.
Þ Pengendalian Vektor
1. Kelambunisasi
2. IRS (Penyemprotan Rumah)
3. Larvaciding
Þ Survey Vektor Penular penyakit Malaria
Dari upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue melalui program Malaria perkembangan penurunan kasus dari tahun ke tahun Pada tahun 2006 Malaria klinis 3.309 kasus dan yang positif 669 kasus.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar.
2. Permasalahan wilayah pesisir sangat penting khususnya masalah pencemaran yang terkait dengan perkembangbiakan vektor. Ini di sebabkan karana pencemaran lingkungan berhubungan langsung dengan sanita di tempat tersebut.
3. Masyarakat diharapkan mewaspadai, dan berhati-hati terhadap burung yang berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Sebab, kemungkinan burung membawa virus flu burung
4. Pentingnya dilakukan disinseksi agar kapal terhindar dari vektor pembawa penyakit, dan agar kapal terhindar dari penyakit menular.
5. Pembangunan kesehatan tetap merupakan kebutuhan masyarakat yang akan meningkat secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan pembangunan secara nasional. Untuk itu upaya-upaya dibidang kesehatan dalam lebih ditingkatkan agar hasil pembangunan kesehatan dapat terus ditingkatkan
B. SARAN
Pengendalian vektor di wilayah pesisir bukanlah hal yang mudah, karena itu di harapkan partisipasi pemerintah, sekarang saatnya melirik dan memperhatikan wilayah pesisir, mengingat begitu banyak potensi di wilayah tersebut termasuk sebagai tempat wisata bahari. Karena itu daerah pesisir pun harus diperhatikan tingakat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Kurniawan, “Diduga Penyebar Virus AI, Burung di Pantai Trisik Diteliti”, http://www.detiknews.com/read/2006/03/08/225034/555147/10/diduga-penyebar-virus-ai-burung-di-pantai-trisik-diteliti, akses 26 November 2009.
Chandra budiman, “Pengantar Kesehatan Lingkungan”, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2007.
Departemen Kelautan dan
Mardiana, “ Penelitian Bioekologi Vektor Di Daerah Pantai Dan Pedalaman Jawa Timu”r, http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/abstrak/Mardiana200001.pdf akses 26 November 2009.
Nugroho, dkk. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk Pemanfaatan Sumber daya Alam yang Berkelanjutan (Peper Kelompok IV Mata Kuliah Falsafah Sain, IPB).
Prianto, Dwi, “Analisa Kebijakan Pengelolaan Potensi Kawasan Pesisir Kabupaten Gresik”, http://digilib.its.ac.id/detil.php?id=4892, akses 28 November 2009.
Profil kesehatan kabupaten simeulue, http://www.depkes.go.id/downloads/profil/kab%20simeulue%202007.pdf,akses 28 November 2009.